Dear
Bapak Menteri Pendidikan,
Assalamualaikum
wr.wb. Pak?
Sebelumnya
saya minta maaf, Pak. Disini saya mau mengeluarkan keluhan saya, Pak. Keluhan
saya sebagai Siswa SMA Kelas Akhir yang sedang berjuang menghafalkan 40 lembar
yang berisi Rangkuman Biologi & 36 lembar Rangkuman Agama yang belum saya
sentuh sama sekali.
Saya
cuman seeonggok Siswa dari 4000ribu Siswa diluar sana atau mungkin lebih? Dan,
Bapak adalah satu dari semua Menteri Pendidikan di Indonesia. Bisa dibedakan
toh, Pak? Mungkin bapak mendengar keluhan ini hanya dari 1 Siswa saja. Tapi,
bisa bapak bayangkan ada sisa 3999ribu lagi siswa diluar sana, Pak.
Mungkin
pertanyaan bapak, “Kenapa kamu terbebani oleh UASBN? UN kan sudah saya
hapuskan.”
Pak,
walaupun bapak menghapuskan UN untuk kami. Tapi, bapak menambahkan beban untuk
kami, Pak. Mungkin Bapak dulu belum merasakannya, makanya bapak tak tahu apa
yang kami rasakan
Dikejar-kejar
oleh rentetan ujian. Ujian Sekolah, Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional dan
Ujian Nasional Berbasis Komputer. Bisa bayangkan, Pak? Saya tahu kok , Pak.
Bapak sangat bisa membayangkannya. Tapi, Bapak tidak pernah bisa merasakannya.
Makanya, Bapak tidak memikirkan gimana nasib-nasib Siswa/i di seluruh
Indonesia, Pak.
Saya
adalah salah satu Siswa yang tidak pernah beranking 10 Besar.
Saya
adalah salah satu Siswa yang susah belajar.
Mungkin,
Bapak disini mau menyalahkan saya yang susah belajar atau kata kasarnya, Saya
malas.
Iya,
Pak. Emang saya malas. Malas banget saya belajar membaca dan semua mengerjakan
soalnya. Tapi, pas Ujian berlangsung; Soal yang saya kerjakan dirumah,
Pembahasan yang saya baca ulang tidak ada di Ujiannya, Pak.
Dan
disini Bapak mungkin mau menyelak lagi.
“Kamu
kurang berusaha dan kurang belajar.”
Apakah
Bapak pernah merasakan kami? Pulang sore lalu dilanjutkan oleh bimbel-bimbel
yang menyebabkan kami pulang diatas jam 9 malam? Pernah?
Dan,
disini bapak masih ingin bilang jikalau saya kurang berusaha dan kurang
belajar?
Saya
tahu kok, Pak. Bapak pasti punya ilmu yang tinggi makanya Bapak bisa jadi
Menteri Pendidikan.
Cuman,
Pak. Ada hal baiknya jikalau bapak ingin menjadi yang terbaik di mata seluruh
rakyat Indonesia, Bapak tidak perlu menghapuskan 1 beban tapi menyiptakan 10
beban yang baru kepada Siswa/i yang notebene masih panjang perjuangannya.
Kami
akan melalui US, UASBN, dan UNBK. Lalu, akan memperjuangkan SBMPTN dan Ujian
Mandiri.
Saya
punya pertanyaan buat Bapak.
Apa
yang harus saya prioritaskan dari ke-5 Ujian itu, Pak?
Apakah
saya harus memprioritaskan; UASBN yang notebene jadi standart persyaratan
kelulusan? Namun bagaimana dengan SBMPTN saya, Pak?
Apakah
saya harus memprioritaskan SBMPTN yang notebene menjadi masa depan saya nanti?
Namun jikalau saya fokus terhadap SBMPTN, Apa kabar UASBN saya, Pak? Apakah
saya akan bisa lulus dari sekolah saya?
Jika
jawaban Bapak, “Prioritaskan-lah semuanya.”
Bapak,
Manusia kan?
Mungkin
Bapak pusing dengan data-data yang masuk dari seluruh Indonesia sampe begadang
semalaman, pusing sana-sini.
Hello,
Bapak Menteri. Apa kabar kami?
Kami
harus menghadapi 5 Ujian.
Melebihi
dari 5 Bab yang harus kita hafalkan dari 15 Pelajaran.
Ada
soal TKD dan TPA yang harus kita latihkan.
Kami
sendiri yang menentukan nasib kami, Pak.
Bukan
Bapak.
Bapak
toh gapeduli sama kami yang ditolak dengan Universitas, kan?
Bapak
juga gapeduli toh sama perasaan kami yang kotar-katir harus memprioritaskan
yang mana?
Bapak
hanya peduli jika kami menjalankan semua Ujian yang bapak berikan kepada kami.
Tanpa
peduli jikalau kita tidak memenuhi standar persyaratan kelulusan.
Bapak,
Jangan mikir kalau Siswa/i di Indonesia ini mampu untuk mengalahkan ke-5 ujian
itu. Saya tahu niat Bapak baik; Ingin membuat semua Siswa/i menjadi Pintar dan
Cerdas bisa membanggakan Indonesia terhadap negara asing.
Sampai
Bapak lupa dengan kapasitas otak kami yang tidak memenuhi seperti Otak Komputer
atau Otak Robot. Yang mampu menyaring semua pelajaran secara sempurna.
Sampai
Bapak lupa dengan manusia itu berbeda-beda. Engga ada yang sama. Termasuk
kapasitas otaknya.
Sampai
Bapak lupa dengan penderitaan apa yang kami rasakan.
Niat
Bapak juga mulia sekali ingin mengurangi Siswa/i yang bunuh diri karena Ujian
Nasional.
Tapi,
Pak? Bapak juga harus tahu; UASBN yang notabene lebih banyak harus dipelajari
dan masuk dalam syarat kelulusan. Jauh lebih bisa membunuh kami semua.
Gunanya
apa, Pak kalau bapak menghapuskan UN (yang notabene tidak dihapuskan juga
sampai saat ini.) Jika, Bapak ingin kami melakukan UASBN?
Bapak
Menteri,
Saya
disini tidak ingin menantang Bapak untuk mengerjakan semua ujian yang Bapak
buat sendiri untuk kami.
Karena
saya tahu bapak tidak pernah merasakan apa yang kami rasakan.
Jangankan
merasakan, membayangkan saja tidak pernah toh yo, Pak?
Saya
pertegaskan lagi, Saya 1 dari 4000ribu Siswa/i dari Indonesia mungkin Bapak
tidak peduli dan hanya meremehkan saya.
Tapi
saya ingatkan lagi, Pak. Walaupun hanya 1% yang mengeluh, Bapak harus
mempertimbangkannya lagi.
Cheers!